Minggu, 11 April 2010

Hakikat "Umur"

Assalamualaikum wr.wb
Sahabatku rahimakumullah
"Sebaik-baik manusia adalah yang panjang umurnya dan baik amalnya”, demikian sabda Rasul Saw. Karena itu, jika kehidupan dunia berlalu tanpa upaya memakmurkan jiwa, maka ia tidak wajar dinamai “umur”.

Masa atau zaman, apakah sesuatu yang memiliki wujud atau tidak, bukanlah persoalan kita di sini. Itu bahasan filosof masa lampau. Yang jelas, masa yang berkaitan dengan kesadaran kita adalah masa lalu, kini, dan datang. Masa lalu telah pergi, masa datang di balik gaib, dan masa kini itulah yang Anda miliki, maka gunakanlah ia sebaik mungkin, ia bagaikan pedang, bila Anda tidak menggunakan untuk kepentingan Anda, dia digunakan menikam Anda.

Masa terbagi pada abad, abad pada tahun-tahun, dan tahun terbagi lagi pada bulan-bulan, dan yang ini terbagi pada sekian hari, lalu hari terbagi lagi dalam jam, lalu yang terakhir ini pada detik. Semua itu adalah aksioma yang dikenal secara jelas oleh manusia berakal. Masa adalah kadar kelanjutan wujud. Sebagaimana titik bila dilanjutkan akan menjadi garis yang panjang, demikian juga detik bila dilanjutkan akan menjadi abad.

Berlalunya detik demi detik menghasilkan pergantian hari dan minggu, lalu bulan, tahun dan abad. Itu semua menandai bertambahnya – bahkan lebih tepat berkurangnya – usia seseorang. Betapa cepatnya detik-detik menit, dan menit-menit jam, bahkan betapa cepatnya berlalu, minggu, bulan, dan tahun kehidupan.

Ke mana gerangan kita diantar oleh pergantian detik-detik itu? Al-Qur’an secara tegas menyatakan: “Hai manusia! Sesungguhnya engkau bersusah payah menuju Tuhanmu, dan engkau pasti akan menemui-Nya” (QS. al-Insyiqâq [84]: 6), karena itu kita diajar berucap: Innâ Lillâh Wa Innâ Ilayhi Râji‘ûn/Sesungguhnya kita adalah milik Allah, dan sesungguhnya kepada-Nya kita akan kembali” (QS. al-Baqarah [2]: 156).

Kita di dunia hanya bagaikan musafir yang beristirahat sejenak, apakah di bawah pohon yang rindang atau di kolong langit di bawah teriknya panas atau curahan hujan. Namun yang pasti, perjalanan berlanjut detik demi detik berganti sampai akhirnya, suka atau tak suka, detik hidup kita di dunia ini berakhir.

Seorang sahabat Nabi saw. Bertanya, “Kapan datangnya akhir masa/kiamat?” “Nabi Saw. balik bertanya, “Apa yang engkau siapkan untuk menghadapinya?” Jawaban ini ada kesamaannya dengan jawaban al-Qur’an ketika Mu’adz bin Jabal dan Tsa’labah bin Ghanamah al-Anshari bertanya, “Wahai Nabi, mengapa bulan bermula sabit, kemudian membesar hingga purnama, lalu dari malam ke malam, mengecil hingga sirna dari pandangan?” Nabi terdiam dan al-Qur’an yang menjawab: “Katakanlah (hai Muhammad), yang demikian itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (ibadah) haji” (QS. al-Baqarah [2]: 189).

Jawaban al-Qur’an tidak sesuai dengan pertanyaan mereka, tetapi menuntun kepada sesuatu yang sangat mendasar, yakni pelajaran yang harus dipetik dari apa yang terjadi pada pergantian bulan itu. Al-Qur’an menjawab: “Dia adalah tanda-tanda waktu bagi manusia”, dalam arti keadaan bulan silih berganti seperti itu “agar manusia menjadikannya sebagai tanda untuk penyelesaian tugas dan kerja mereka”.

Memang kata “waktu” digunakan al-Qur’an dalam arti “batas akhir kesempatan atau peluang untuk menyelesaikan suatu pekerjaan”. Ia tidak boleh disia-siakan dan dibiarkan pergi karena seperti ucap Sayyidina Ali kw. “Rezeki yang luput dari Anda hari ini, masih dapat Anda harapkan perolehannya esok, tetapi waktu yang berlalu saat ini, jangan harap dia kembali lagi.”

Keadaan bulan seperti itu, hendaknya juga mengingatkan manusia bahwa perjalanan hidupnya di dunia ini bagaikan bulan manusia pada mulanya tidak hadir di persada bumi, kemudian ia lahir kecil mungil bagai bulan yang sabit itu, dan dari hari ke bulan, bulan ke tahun ia membesar, hingga dewasa, sempurna usia, tetapi kemudian sedikit demi sedikit kembali menurun dan menurun kemampuannya hingga tua dan wafat lalu menghilang dari kehidupan duniawi.

SayidinaAli kw. pernah berkata: Bila keadaanmu makin mundur sedang maut terus datang menghadangmu, maka alangkah cepatnya pertemuanmu dengannya. Karena itu pula, al-Qur’an berpesan, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah disiapkannya untuk hari esok” (QS. al-Hasyr [59]: 18). Ayat ini menuntun bahkan menuntut orang beriman untuk memiliki visi jauh ke depan, bukan hanya terbatas pada kehidupan kini dan di sini, tetapi esok dan di akhirat sana.

Bagi yang tidak beriman, pergantian malam dan siang bahkan perjalanan usianya di dunia tidak lain kecuali permainan yang tanpa tujuan (seperti prilaku bayi), aktivitas yang melalaikan (seperti yang sering dilakukan anak-anak), berhias dan bersolek (sebagaimana banyak remaja), menumpuk harta dan memperbanyak anak dengan tujuan berbangga-bangga (sebagaiman dilakukan banyak orang dewasa) (baca QS. al-Hadîd [57]: 20).

Padahal “Dia (Allah) menjadikan malam dan siang silih berganti (untuk memberi kesempatan) bagi siapa yang ingin mengingat (mengambil pelajaran) dan yang ingin bersyukur” (QS. al-Furqân [25]: 62).

“Mengingat” berkaitan dengan masa lampau, dan ini menuntut introspeksi dan kesadaran menyangkut semua hal yang telah terjadi agar mengantar kepada perbaikan dan peningkatan, sedang “bersyukur” menuntut digunakannya semua potensi yang dianugerahkan Allah sesuai tujuan penganugerahannya. Ini menuntut upaya dan kerja keras. Jika itu dapat dilakukan, maka hari-hari yang dilalui seseorang dalam pentas hidup ini wajar untuk dinamai umur.

Mengapa wajar dinamai demikian? Paling tidak ada dua kata yang digunakan untuk menunjuk masa yang dialami seseorang dalam kehidupan dunia, usia dan umur. Dalam bahasa al-Qur’an, digunakan kata “sin” yang berarti usia dan juga berarti gigi – karena gigi dapat menandai usia. Kata kedua adalah umur yang seakar dengan kata makmur, dan yang selalu mengandung makna kesinambungan dan atau ketinggian. Konon seorang kakek pernah ditanya tentang umurnya, dia menjawab: “Lima belas tahun” karena katanya “baru lima belas tahun terakhir ia memakmurkan jiwanya dengan amal saleh”. Karena itu, jika kehidupan dunia berlalu tanpa upaya memakmurkan jiwa, maka ia tidak wajar dinamai “umur”.

Sebaik-baik manusia adalah yang panjang umurnya dan baik amalnya”, demikian sabda Rasul Saw. Karena itu pula, beliau berdoa: “Ya Allah, jadikanlah amalku yang terbaik adalah (yang kulakukan) pada akhir usiaku, dan jadikanlah hariku yang terindah adalah hari aku menemui-Mu kelak.”

Untuk meraih hal tersebut kita memerlukan ilmu dan amal. Tanpa ilmu kita tidak mengetahui jalan yang benar, tetapi ilmu saja tidak cukup. Kita pun memerlukan amal berdasar ilmu itu. Kita memerlukan ilmu amaliah dan amal ilmiah. Dengan kata lain, dalam mengisi perjalanan hidup, kita memerlukan hikmah. Semoga kita berhasil meraihnya.

Demikian, wa Allâh a‘lam.

--------------------------
------------------
Sumber :
Disunting dari buku "Menjemput Maut" karya M. Quraish Shihab, Jakarta: Lentera Hati, 2005.

Semoga Bermanfaat
Wassalamualaikum wr.wb
Imam Puji Hartono (Gus Im)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar