Senin, 26 April 2010

Kepada Siapakah Akan Engkau Serahkan Puterimu?

Ketika sang putri sudah beranjak dewasa, bertambahnya usia yang putri membuat orang tua gelisah, mereka mengetahui bahwa sang putri sudah waktunya untuk menikah, untuk mendapatkan seorang pendamping hidup yang bisa membuat keluarga bangga, segala keinginan dan kriteria disusun untuk sang calon menantu kelak, tidak jarang mereka mengharapkan akan mendapatkan calon menantu yang kaya, bermobil mewah dan harta yang berlimpah, sehingga bisa membuat orang tua menjadi bangga, minimal bisa dibanggakan (disombongkan) dihadapan kerabat yang lain saat ada pertemuan keluarga.

Ada juga orang tua yang mengharapkan putri mereka mendapatkan calon suami yang memiliki pekerjaan tetap dan berpenghasilan “lumayan”, agar putri mereka kelak mendapatkan nafkah yang cukup dan tidak akan kelaparan, atau juga ada yang mengharapkan calon menantu adalah orang yang memiliki jabatan atau pangkat tertentu, dan masih banyak lagi impian yang disusun rapi serta cara-cara strategis untuk mewujudkannya. Sehingga kerap terjadi bahwa “sang putri” menjadi barang komoditi atau umpan yang empuk untuk menggaet harta berlimpah dan sekedar numpang kecipratan hidup enak dari sang calon menantu.

Kemudian jika datang kepada mereka seorang laki-laki dengan memakai pakaian yang sudah pudar warnanya, dengan kerendahan hati mengajukan pinangan kepada “sang putri”, orang tua akan mengatakan, “Mau diberi makan apa anakku nanti? Coba ngaca dulu sebelum melamar putri saya!” padahal mereka tidak mengetahui bahwa sang pemuda yang sudah pudar warna bajunya adalah seorang penuntut ilmu agama yang bertaqwa kepada Allah Ta’ala, hartanya boleh sedikit namun bisa jadi dia mulia di hadapan Allah Ta’ala.

Wahai abi... ummi... harta bukan ukuran kebahagiaan, sebagaimana kesederhanaan juga bukan ukuran untuk kesengsaraan... maukah kalian membaca suatu kisah? Yang didalamnya terdapat tauladan yang membuat hatimu terpesona, dan mungkin matamu akan menitikkan air mata, jika di dalam hatimu memang masih ada secuil iman kepada Allah Ta’ala maka simaklah untaian kisah berikut :

Kisah itu terdapat dalam biografi seorang Penghulu Tabi’in dan Tabi’in yang mulia Sa’id bin Musayyib rahimahullah, bahwa Khalifah ‘Abdul Malik bin Marwan meminang anak Sa’id bin Musayyaib untuk anaknya, Al-Walid (seorang putera mahkota dan calon khalifah berikutnya) ketika itu sang khalifah masih memegang tampuk kekuasaannya. Lalu beliau (Sa’id binMusayyib) menolak lamaran itu.

Abu Wida’ah mengatakan, “Aku selalu bermajelis kepada Sa’id bin Musayyib, lalu aku tidak hadir beberapa hari. Tatkala aku datang, beliau bertanya kepadaku, “Kemana saja engkau kemarin?” Aku menjawab, “Istriku meninggal, lalu aku sibuk dibuatnya (mengurus pemakamannya).” Sa’id bin Musayyib berkata, “Kenapa engkau tidak memberitahu kami sehingga kami dapat menyaksikannya?” Aku pun menjawab, “Sebenarnya aku bermaksud demikian.”

Lalu beliau bertanya, “Apakah engkau telah menemukan wanita lain penggantinya?” Aku menjawab, “Semoga Allah memberikan rahmat-Nya kepada anda, siapa yang berani menikahkanku (dengan putrinya), padahal aku hanya memiliki harta dua atau tiga dirham saja?” Beliau menjawab, “Apabila aku melakukannya (mencarikan seorang istri), apakah engkau mau menerimanya?” Aku menjawab, “Baiklah.” Lalu dia (Sa’id bin Musayyib) memuji Allah dan mengucapkan shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan Sa’id bin Musayyib menikahkan diriku dengan (mahar) dua dirham atau tiga dirham tersebut.

Abu Wida’ah melanjutkan, “Lalu aku bangkit seraya tidak mengerti apa yang harus aku perbuat karena gembira. Aku pulang ke rumahku, sembari memikirkan dari siapa aku mendapatkan pinjaman. Aku pun melaksanakan shalat Maghrib. Pada saat itu aku dalam keadaan puasa. Ketika aku hendak makan malam setelah berbuka, hanya ada sepotong roti dan minyak. Tiba-tiba pintu diketuk. Aku bertanya, “Siapa itu?” Beliau menjawab, “Sa’id!”

Aku memikirkan orang yang kukenal bernama Sa’id, namun aku hanya menemukan Sa’id bin Musayyib. Namun beliau buta sejak empat puluh tahun yang lalu kecuali (jalan) antara rumah dan masjid saja yang dikenalnya. Aku bangkit dan keluar, rupanya dia adalah Sa’id bin Musayyib, dan aku mengira ia dapat melihat. Aku pun bertanya, “Wahai Abu Muhammad kenapa anda tidak mengutus seseorang saja kepadaku, sehingga aku datang kepadamu?” Beliau menjawab, “Tidak! Engkau lebih berhak untuk diziarahi.”

Aku bertanya, “Apakah yang ingin anda perintahkan kepadaku?” Beliau menjawab, “Aku melihat engkau seorang laki-laki yang melajang. Aku telah menikahkan (putriku denganmu) karena aku melihat engkau tidak suka tidur sendirian pada malam ini. Dan inilah istrimu.” Rupanya dia adalah seorang wanita yang berdiri di belakangnya.

Kemudian beliau mendorong wanita itu ke pintu rumah dan diapun menahan pintu tersebut. Wanita itu terjatuh karena malu, lalu ia mencoba untuk bergantung ke pintu itu, kemudian bangkit masuk ke rumah. Aku bangkit memanggil tetangga, mereka pun berdatangan seraya bertanya, “Ada apa denganmu?” Aku menjawab, “Sa’id bin Musayyib menikahkan diriku dengan puterinya tanpa sebuah tanda apa-apa. Dan sekarang wanita itu ada di dalam rumah. “ lalu mereka pun menemuinya.

Ketika itu ibuku mendapatkan kabar tentang hal itu, lalu beliau datang seraya berkata, “Engkau tidak boleh tidur bersamanya sebelum aku melihat keshalihannya selama tiga hari.” Setelah bersamanya tiga hari barulah dia menggaulinya. Rupanya wanita itu adalah wanita tercantik, yang paling hafal Al-Qur’an, paling banyak ilmu tentang sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan yang paling tahu tentang hak suami.

Abu Wida’ah melanjutkan, “Lalu aku berdiam selama sebulan dan tidak menemuinya (Sa’id bin Musayyib), dan beliau juga tidak pernah menemuiku. Kemudian aku menemuinya setelah satu bulan berlalu, sementara itu beliau berada dalam halaqahnya. Aku mengucapkan salam kepadanya, maka beliaupun membalas salamku dan beliau tidak berbicara kepadaku sampai semua orang pergi dari masjid dan yang tersisa hanyalah aku. Beliau bertanya, “Bagaimana keadaan orang itu (yakni puterinya)?” Aku menjawab, “Seperti halnya yang dicintai orang yang shiddiq dan selalu dibenci oleh musuh Allah.” Lalu aku pulang ke rumah, sementara itu beliau memberiku dua puluh ribu dirham.”

Tidak ada lagi yang lebih tenang hidupnya melainkan Tabi’in yang mulia itu hingga akhir hidupnya bersama anak Sa’id bin Musayyib tersebut. Sehingga beliau tidak lagi memikirkan keadaan anaknya karena di bawah bimbingan seorang laki-laki yang bertaqwa yang selalu takut kepada Allah, serta mengerti tentang hak istri dan posisinya di samping istrinya tersebut. [Dinukil dari Kitab Min Akhlaqi ‘l-Ulama (123-125)]

Demikianlah sebuah kisah bagaimana seorang Tabi’in yang mulia dan buta lebih memilih seorang menantu penuntut ilmu yang miskin yang hanya memiliki dua atau tiga dirham uang saja namun memiliki keshalihan dan rasa takut yang tinggi kepada Allah Ta’ala, dan beliau menolak lamaran seorang khalifah yang akan menikahkan puteri beliau dengan anaknya seorang calon khalifah Al Walid. Sa’id bin Musayyib lebih mengkhawatirkan kekayaan duniawi akan menjerumuskan puterinya sehingga beliau memilih Abu Wida’ah sebagai menantunya, yang mana beliau telah mengenal baik keutamaan dan keilmuan Abu Wida’ah ini.

Lalu bagaimanakah halnya dengan orang tua di zaman sekarang ini, apakah mereka juga mengkhawatirkan akidah anak-anak mereka setelah pernikahannya, sehingga para orang tua lebih menitik beratkan kebersihan akidah dan kemuliaan akhlak calon menantunya daripada harta kekayaan, jabatan dan kedudukan, kita sering mendengar banyak kisah tentang KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) lalu darimanakah asal KDRT itu jika calon suami puteri mereka adalah seorang yang shalih lagi memiliki rasa takut yang tinggi kepada Allah Ta’ala? Ataukah mereka para orang tua akan menyerahkan puteri-puteri mereka dalam bimbingan seorang suami yang jauh dari agama dan tenggelam dalam kehidupan dunia, yang selalu melalaikan shalat mereka dan bersikap kasar terhadap istri?

Keputusan ada di tangan anda wahai para orang tua, perhatikanlah kepada siapa engkau akan menyerahkan puterimu?

Wallahu a’lam bish showab

Oleh Andi Abu Najwa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar