Senin, 26 April 2010

SEMOGA AKU SEORANG MUSLIM SEJATI

Bismillahirrahmanirrahim
Andai aku seorang muslim liberal, maka aku akan melepaskan keyakinan-keislamanku dari segala bentuk otoritas tafsir”. ini Tulisan adalah atas jawaban dari tulisan JIL itu.

Pertama: Sebagai seorang Muslim sejati, aku akan meyakini bahwa aku berada dalam kebenaran. Bagiku Islam dan iman adalah hidayah dan nikmat yang telah Allah kurniakan kepadaku, karenanya keyakinanku tidak mungkin bersifat tentatif.

Hanya dengan keyakinan seperti ini aku mampu menyampaikan pesanan Tuhan dengan pasti (‘ala basiratin). Karena di perkuat dengan ilmu, keimananku terhadap Allah, al-Qur’an dan Nabi Muhammad serta risalah yang di bawanya tidak akan goyah meskipun terdapat tuduhan dan distorsi ke atas ajaran Islam.

Setelah mendalami ilmu-ilmu Islam, dan bukan secara apriori maupun taqlid, aku mengerti bahwa Iman bukan hanya suatu kepercayaan, tetapi merupakan keyakinan di dalam lubuk hati, pernyataan melalui lisan dan dibuktikan dengan perbuatan sebagai tanda berserah diri kepada kehendak Yang Maha Esa.

Aku memahami Ibadah bukan hanya sebatas ritual dan spiritual, tetapi sebagai penghambaan diri terhadap Allah swt dalam segenap bidang kehidupan. Keyakinanku akan kebenaran ajaran Islam bertitik tolak daripada keyakinanku bahwa knowledge is possible dan seperti diungkapkan oleh al-Nasafi bahwa hakikat sesuatu itu tetap dan ilmu mengenainya adalah sesuatu yang pasti (haqa’iq al-ashya’ thabitah wa al-ilmu biha mutahaqqiqun).

Kedua: Aku setuju dengan pandangan para sarjana Muslim, seperti Muhammad Iqbal, al-Attas dan al-Faruqi, bahwa masalah utama umat Islam adalah krisis ilmu. Bahwa jalan untuk mengembalikan kegemilangan tamadun Islam adalah melalui pemerkasaan budaya ilmu, pencerahan dan pemberdayaan Ummat.

Maka tanggungjawab para cendekia Muslim adalah membebaskan umat Islam dari belenggu kejahilan termasuk kejahilan tentang Islam itu sendiri. Pada hari ini yang menjadi kendala adalah kekeliruan epistemologi: ketidakmampuan kaum intelektual Muslim mengatasi polemik akal dengan wahyu telah menambah lagi kekeliruan dan kejahilan ini. Aku melihat bahwa justeru sebagian intelektual Muslim dipengaruhi pemikiran sekular Barat dan terperangkap dalam dikotomi: liberal versus literal, sakral versus mundane, objektif versus subjektif, progresif versus konservatif, teokrasi versus demokrasi. Dualisme dan dikotomi berlaku di Barat karena kegagalan Gereja mengakomodasi modernity dan kemajuan manusia.

Bagiku, Islam telah memberikan kedudukan yang sewajarnya kepada akal. Cukup tinggi karena dengannya misi kekhalifahan hanya mungkin tercapai tetapi tidak terlalu tinggi untuk didewakan atau disejajarkan dengan wahyu.

Akal dan kebenaran yang diperolehinya tidak berdiri sendiri. Setelah mendalami epistemologi Islam, aku mengerti bahwa kebenaran sains harus tunduk kepada kebenaran wahyu dan bukan sebaliknya. Akal dan sains harus akur dengan keterbatasannya dan bahwa dalam perkara-perkara tertentu tidak mampu menjelaskan secara saintifik. Bagi kaum sekular kebenaran sains dan kebenaran agama dilihat secara terpisah.

Bagiku kebenaran sains adalah kebenaran yang datang dari Tuhan, karena sains mengkaji fenomena kejadian makhluk Tuhan yang mengikuti sunnatullah. Demikian juga, kebenaran wahyu tidak akan bertentangan dengan kebenaran akal, jika akal memperolehinya dengan metode yang benar.

Sebagai seorang Muslim sejati, aku mengerti bahwa al-Qur’an sebagai pembimbing akal telah menjelaskan hakikat-hakikat kehidupan ini dengan begitu gamblang. Tugas akal fikiran hanya perlu memahaminya dan mengembangkannya.

Bagiku, tiada di kotomi antara al-Qur’an dan akal, keduanya berjalan seiring, karena, seperti
dinyatakan oleh mantan Shekh al-Azhar Abdul Halim Mahmud, Al-Qur’an adalah kitab akal karena seluruh kandungan al-Qur’an mengarah kepada pembebasan akal dari lingkarannya yang sempit.

Rabunnya umat Islam dalam membaca dan lumpuhnya mereka dalam berfikir tiada kaitan dengan al-Qur’an. Karena sehebat manapun pembimbing tidak akan bermakna apa-apa kalau yang dibimbing tidak ada kemahuan untuk memperbaiki dirinya. Oleh karenanya aku sedar, dalam hal ini bukan salah Islam sehingga ia perlu dirubah dan bukan juga salah Barat sehingga ia perlu dimusuhi, tetapi salah umat Islam karena memiliki apa yang dikatakan oleh Muhammad Iqbal “ego (khudi) yang lemah” atau meminjam istilah Malik Bennabi, mempunyai sikap qabiliyyat li al-isti’mar (kecenderungan untuk dijajah).

Ketiga: Dalam menghadapi kemajuan (modernity), yang pada hari ini disinonimkan dengan Barat, aku tidak akan bersikap terlalu terbuka (silau) dan tidak juga tertutup (konservatif). Islam mengajarku untuk selalu berusaha menggapai kecemerlangan dan membangunkan diri, bangsa dan masyarakat.

Melalui pembacaanku, aku sedar bahwa Islam telah disalahfahami oleh sebagian umat Islam yang anti kemajuan dan anti perubahan. Tetapi juga di sudut yang lain, Islam telah disalahfahami oleh golongan Muslim sekular yang menganggap agama sebagai penyebab keterpu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar